JAKARTA--Selain bisa digunakan untuk "update" cerita kehidupan
sehari-hari dan kabar para selebritis, para ilmuwan menyatakan Twitter
bisa juga digunakan sebagai alat kesehatan.
Para peneliti yang
dipimpin oleh profesor Geografi dari Universitas Negeri San Diego
Ming-Hsiang Tsou meneliti unggahan Twitter (tweet) yang berasal dari
radius 17 mil dari 11 kota yang berbeda di Amerika Serikat (AS) antara
bulan Juni dan Desember 2012.
Setiap kali orang meuliskan kata
kunci "flu" atau "influenza" dalam tweet-nya maka sebuah program
komputer akan merekam karakter tweet, termasuk username dan lokasi
tempat orang mengirimnya, selain itu komputer merekam apakah itu tweet
asli atau re-tweet, dan apakah itu menyambung (link) ke suatu laman
situs tertentu.
Dari Juni 2012 hingga awal Desember, alogaritma
merekam 161.821 tweet mengandung kata "flu" dan 6.174 mengandung kata
"influenza".
Para ilmuwan membandingkan data lokasi tweet-tweet
tersebut dengan data rata-rata virus flu yang tercatat di kota-kota dan
negara bagian yang relevan.
Mereka menemukan 9 dari 11 kota yang
diteliti, ada korelasi "signifikan" antara tweet tentang flu dan
rata-rata dari penyakit yang mirip flu.
Twitter juga kelihatannya
mampu memprediksi menjangkitnya flu di lima kota: San Diego, Denver,
Jacksonville, Fort Worth, dan Seattle, karena tweet merekam terjadinya
penyakit saat itu juga bahkan sebelum didokumentasikan secara resmi dan
dilaporkan oleh kota atau negara bagian.
"Cara tradisional
membutuhkan setidaknya dua minggu untuk mendeteksi serangan flu. Dengan
metode kami, kami mendeteksinya setiap hari," kata Ming-Hsiang Tsou
seperti dilansir DailyMail.
Pusat Kontrol dan Pengendalian
Penyakit menyatakan musim flu adalah antara bulan Oktober hingga Mei
sehingga membuat rumah sakit dan klinik sulit mempersiapkan diri.
Setidaknya
butuh dua minggu bagi rumah sakit untuk menyadari adanya peningkatan
tajam pasien flu dan pemerintah AS untuk mengeluarkan peringatan.
Para
ilmuwan menemukan tweet asli tanpa link ke laman tertentu terbukti
lebih bisa memprediksi dari pada retweet atau tweet yang mengandung
link, kemungkinan karena tweet asli lebih menggambarkan unggahan
individual tentang simptom yang mereka rasakan.
Profesor Tsou
percaya tekniknya, yang secara detail dipublikasikan di Journal of
Medical Internet Research, dapat membantu pihak yang berwenang mendapat
sumber langsung mengenai zona wabah flu yang lebih cepat dan efisien,
dan menentukan sebaran penyakit.
"Ada potensi penggunaan sosial
media untuk benar-benar meningkatkan cara kita memonitor flu dan masalah
kesehatan publik lain," kata Profesor Tsou.
Sebenarnya, ide penggunaan media sosial sebagai alat prediksi medis bukan hanya milik Profesor Tsou.
Tahun
2011, peneliti dari Universitas Negeri Pennsylvania menggunakan Twitter
untuk melacak perilaku terhadap vaksinasi flu dan melabelinya sebagai
perilaku positif, netral atau negatif.
Perusahaan telepon
konferensi AS, Citrix, juga telah membuat sebuat microsite untuk melacak
tweet tentang flu dan meneliti bagaimana itu dapat mempengaruhi tempat
kerja.
Dikatakan, "lurgy" atau penyakit yang tidak terlalu
serius, menjadi hastag terkait flu tertinggi di Twitter, berdasarkan
penelitian di Inggris, hal itu mengungkap para pekerja keras sebagai
penyebab utama menyebarnya penyakit.
Survey membuktikan 46 persen
pekerja kantoran dan 56 persen pebisnis senior menyalahkan para pekerja
yang "rajin" sebagai penyebar kuman di kantor.
Kira-kira
seperempat orang kantoran di Inggris mengatakan rekan kerjanya tidak
ijin istirahat saat sakit karena khawatir akan beban kerjanya, sementara
hanya separuh pekerja yang setuju jika pekerjaan kantor akan lebih
produktif jika rekan kerja yang sakit ijin.